PERENCANAAN LEMBAGA ZIS
I.
PENDAHULUAN
Secara filosofis, dalam kegiatan kehidupan sehari-hari sebenarnya
kita selalu penuh dengan perencanaan. Akan tetapi, sering tidak disadari bahwa
kita telah melakukan perencanaan. Perencanaan adalah langkah awal
sebelummelakukan fungsi-fungsi manajemen yang lainnya. Begitu pula didalam
manajemen ZIS, fungsi perencanaan sangatlah pentingsekali untuk dilakukan
demitercapainya tujuan dan peran lembaga
ZIS sebagai lembaga social yang bertujuan mengumpulkan, mengatur, dan
mendistribusikan dana ZIS kepada masyarakat yang membutuhkan. Agar
tujuan-tujuan tersebut dapat terealisasi dengan baik maka fungsi perencanan
sangatlah penting untukdilaksanakan.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
Pengertian perencanaan?
2.
Apakah
Tipe-tipe Perencanaan dan Rencana?
3.
Bagaimana
Tahapan dalam Perencanaan?
4.
Bagaimana
Criteria Penilaian Effektifitas Rencana?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Perencanaan
Perencanaan (planning) berarti menentukan tujuan untuk kinerja
organisasi di masa depan serta memutuskan tugas dan penggunaan sumber daya yang
diperlukan untuk mencapai tujuan.[1]
Pada Wells Fargo & Co.,CEO Richard Konvacevich menetapkan tujuan yang
sangat ambisius berupa penggandaan jumlah produk yang terjual untuk setiap
pelanggan. Perencanaan adalah salah satu
cara terbaik untuk meningkatkan kinerrja organisasi dan individu.[2]
Perencanaan
adalah fungsi dasar manajemen baik didalam perusahaan maupun organisasi, karena
organizing, staffing, directing dan controlling pun harus
terlebih dahulu direncanakan. Didalam perencanaan ZIS sebenarnya adalah masalah
“memilih”, artinya memilih tujuan, dan cara yang terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut dari beberapa alternative yang ada.[3]
2.
Tipe-tipe
Perencanaan dan Rencana
Perencanaan dan rencana dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara yang
berbeda. Cara penklasifikasian perencanaan akan menentukan isi rencana dan
bagaimana perencanaan itu dilakukan.
Ada paling sedikit lima
dasar pengklasifikasian rencana-rencana sebagai berikut :
Ø Bidang fungsional, mencakup
rencana produksi, pemasaran, keuangan dan personalia. Setiap faktor memerlukan tipe perencanaan yang berbeda.
Ø Tingkatan Organisasional,
termasuk keseluruhan organisasi atau satuan-satuan kerja organisasi.
Teknik-teknik dan isi perencanaan berbeda untuk tingkatan yang berbeda pula.
Perencanaan organisasi keseluruhan akan lebih kompleks daripada perencanaan
satu satuan kerja organisasi.
Ø Karakteristik-karakteristik
(sifat) rencana, meliputi faktor-faktor kompleksitas,
fleksibilitas, keformalan, kerahasiaan, biaya, rasionalitas, kuantitatif dan
kualitatif.
Ø Waktu, menyangkut rencana
jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Semakin lama rentangan waktu
antara prediksi dan kejadian nyata, kemungkinan terjadinya kesalahan semakin
besar.
Ø Unsur-unsur rencana, dalam
wujud anggaran, program, prosedur, kebijaksanaan dan sebagainya. Perencanaan
meliputi berbagai tingkatan dan setiap tingkatan merupakan bagian dari
tingkatan yang lebih tinggi.
Ada dua tipe utama rencana
:
1)
Rencana-rencana strategic (strategic plans)
Strategi adalah program
umum yang dirancang memenuhi tujuan-tujuan organisasi yang lebih luas,
mengimplementasikan misi yang memberikan alasan khas keberadaan organisasi.
Strategi dapat juga didefinisikan sebagai pola tanggapan organisasi terhadap
lingkungannya sepanjang waktu. Strategi menghubungkan sumber daya manusia dan
berbagai sumber daya lainnya dengan tantangan dan resiko yang harus dihadapi
dari lingkungan di luar perusahaan.
Ada tiga alasan yang menunjukkan pentingnya perencanaan stategik.
·
Perencanaan strategik memberikan kerangka
dasar dalam mana semua bentuk-bentuk perencanaan lainya harus di ambil.
·
Pemahaman terhadap perencanaan strategik akan
mempermudah bentuk-bentuk perencanaan lainnya.
·
Perencanaan strategik sering merupakan titik
permulaan bagi pemahaman dan penilaian kegiatan-kegiatan manejer.[4]
2)
Rencana-rencana operasional (operational plans), penguraian lebih
terperinci bagaimana rencana-rencana strategik akan dicapai. Ada dua
tipe rencana-rencana operasional:
Rencana sekali pakai
(single use plans) adalah rencana yang
dikembangkan untuk mencapai sejumlah tujuan yang tidak akan diulangi di masa
depan.[5]
Tipe-tipe pokok rencana sekali pakai adalah :
o
Program, Suatu program meliputi
serangkaian kegiatan yang relatif luas. Program menunjukkan (1)
langkah-langkah pokok yang diperlukan untuk mencapai tujuan, (2) satuan atau
para anggota organisasi yang bertanggung jawab atas setiap langkah, dan (3)
urutan dari waktu setiap langkah.
o
Proyek, Proyek adalah rencana
sekali pakai yang lebih sempit dan merupakan bagian terpisah dari program.
Setiap proyek mempunyai ruang lingkup yang terbatas, arah penugasan yang jelas
dan waktu penyelesaian. Setiap proyek akan menjadi tanggung jawab personalia
yang ditunjuk dan diberikan sumber daya-sumber daya tertentu dan batas waktu.
o
Anggaran, Anggaran (budget) adalah
laporan sumber daya keuangan yang disusun untuk kegiatan-kegiatan tertentu
dalam jangka waktu tertentu. Anggaran terutama merupakan peralatan pengawasan
kegiatan-kegiatan organisasi dan komponen penting dari program dan proyek.[6]
Rencana-rencana tetap
(standing plans), rencana-rencana ini
sekali ditetapkan akan terus diterapkan sampai perlu diubah (modifikasi) atau
dihapuskan. Wujud umum rencana-rencana tetap adalah:
o
Kebijaksanaan, Suatu kebijaksanaan
(policy) adalah pedoman umum pembuatan keputusan. Kebijaksanaan merupakan batas
bagi keputusan, menentukan apa yang dapat dibuat dan menutup apa yang tidak
dapat dibuat.
o
Prosedur standar, Kebijqaksanaan
dilaksanakan dengan pedoman-pedoman yang lebih terperinci, disebut ‘prosedur
standar’ atau ‘metoda standar’ atau sering dikenal sebagai ‘standar operating
procedure’ (SOP). Suatu prosedur memberikan sejumlah intruksi yang terperinci
untuk pelaksanaan serangkaian kegiatan yang terjadi secara teratur.
o
Aturan, Aturan (rules atau
regulations) adalah pernyataan (ketentuan) bahwa suatu kegiatan tertentu harus
atau tidak boleh dilakukan dalam situasi tertentu. Aturan digunakan untuk
mengimplementasikan rencana-rencana lain dan biasanya merupakan hasil
kebijaksanaan yang di ikuti dalam setiap kejadian.[7]
3.
Tahapan
dalam perencanaan
Tahap I
:Menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan. Perencanaan dimulai dengan
keputusan-keputusan tentang keinginan atau kebutuhan organisasi atau kelompok
kerja.
Tahap 2
: merumuskan keadaan saat ini. Pemahaman akan posisi perusahaan sekarang dari
tujuan yang hendak dicapai atau sumber daya-sumber daya yang yang tersedia
untuk penmencapai tujuan.
Tahap 3
: Mengidentifikasikan segala kemudahan dan hambatan. Segala kekuatan dan
kelemahan serta kemudahan dan hambatan perlu diidentifikasi untuk mengukur
kemampuan organisasi dalam mencapai tujuan.
Tahap 4
: mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.
Tahap
terakhir dalam proses perencanaan meliputi pengembangan berbagai alternative
kegiatan untuk mencapaian tujuan, penilaian alternative-alternatif tersebut dan
pemilihan alternative terbaik (paling memuaskan) di antara berbagai alternative
yang ada.[8]
4.
Criteria
penilaian effektifitas Rencana
Kriteria yang dapat digunakan untuk menilai efektivitas
perencanaan yatu:
·
Kegunaan
Agar
berguna bagi manajemen dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya yang lain, suatu
rencana harus fleksibel, stabil, berkesinambungan, dan sederhana.
·
Ketetapan dan objektivitas
Rencana-rencana
harus dievaluasi untuk mengetahui apakah jelas, ringkas, nyata, dan akurat.
Berbagai keputusan dan kegiatan manajemen lainnyaa hanya efektif bila
didasarkan atas informasi yang tepat.
·
Ruang lingkup
Perencanaan
perlu memperhatikan prinsip-prinsip kelengkapan, kepaduan, dan konsistensi.
·
Efektivitas biaya
Efektivitas
biaya perencanaan dalam hal ini adalah menyangkut waktu, usaha, dan aliran
emosional. Salah satu pedoman penting dalam perencanaan: jangan lakukan
perencanaan bila hasil-hasil meningkatkan penghasilan atau mengurangi biaya
lebih kecil daripada biaya perencanaan dan implementasinya
·
Akuntabilitas
Dua aspek
akuntabilitas perencanaan :
o
Tanggung jawab atas pelaksanaan perencanaan, dan
o
Tanggung jawab atas implementasi rencana.
Suatu rencana harus mencakup
keduanya.
·
Ketetapan
waktu
Para perencana harus membuat
berbagai perencanaan, berarti perubahan yang terjadi sangat cepat akan dapat
menyebabkan rencana tidak tepat atau sesuai untuk berbagai perbedaan waktu.[9]
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG
PENGELOLAAN
ZAKAT
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian
dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2.
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha
untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3.
Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar
zakat untuk kemaslahatan umum.
4.
Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan
usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5.
Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan
zakat.
6.
Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7.
Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang
melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8.
Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk
masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat.
9.
Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi
yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
10.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11.
Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya
operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam.
12.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agama.
Pasal
2
Pengelolaan
zakat berasaskan:
a.
syariat Islam;
b.
amanah;
c.
kemanfaatan;
d.
keadilan;
e.
kepastian hukum;
f.
terintegrasi; dan
g.
akuntabilitas.
Pasal
3
Pengelolaan
zakat bertujuan:
a.
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b.
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.
Pasal
4
(1)
Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2)
Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b.
uang dan surat berharga lainnya;
c.
perniagaan;
d.
pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e.
peternakan dan perikanan
f.
pertambangan;
g.
perindustrian;
h.
pendapatan dan jasa; dan
i.
rikaz.
(3)
Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh
muzaki perseorangan atau badan usaha.
(4)
Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan
sesuai dengan syariat Islam.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan
zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB II
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
5
(1)
Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
(2)
BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara.
(3)
BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri.
Pasal
6
BAZNAS
merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara
nasional.
Pasal
7
(1)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS
menyelenggarakan fungsi:
a.
perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b.
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c.
pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d.
pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
(2)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak
terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden
melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Bagian
Kedua
Keanggotaan
Pasal
8
(1)
BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2)
Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 8 (delapan)
orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah.
(3)
Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur ulama,
tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.
(4)
Unsur pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari
kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5)
BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal
9
Masa
kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal
10
(1)
Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri.
(2)
Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri
setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)
Ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Pasal
11
Persyaratan
untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
paling sedikit harus:
a.
warga negara Indonesia;
b.
beragama Islam;
c.
bertakwa kepada Allah SWT;
d.
berakhlak mulia;
e.
berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
f.
sehat jasmani dan rohani;
g.
tidak menjadi anggota partai politik;
h.
memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan
i.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal
12
Anggota
BAZNAS diberhentikan apabila:
a.
meninggal dunia;
b.
habis masa jabatan;
c.
mengundurkan diri;
d.
tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus; atau
e.
tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal
13
Ketentuan
lebih lanjut mengenai, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNAS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
14
(1)
Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu oleh sekretariat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat BAZNAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
BAZNAS
Provinsi
dan
BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal
15
(1)
Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2)
BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS.
(3)
BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas
usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(4)
Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS
provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat
membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS.
(5)
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS
di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal
16
(1)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS
kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan,
kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan
BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Lembaga
Amil Zakat
Pasal
17
Untuk
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal
18
(1)
Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri.
(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan paling sedikit:
a.
terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial;
b.
berbentuk lembaga berbadan hukum;
c.
mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d.
memiliki pengawas syariat;
e.
memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan
kegiatannya;
f.
bersifat nirlaba;
g.
memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h.
bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Pasal
19
LAZ
wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Pasal
20
Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan
perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB III
PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN,
PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian
Kesatu
Pengumpulan
Pasal
21
(1)
Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri atas
kewajiban zakatnya.
(2)
Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat
meminta bantuan BAZNAS.
Pasal
22
Zakat
yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan
kena pajak.
Pasal
23
(1)
BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.
(2)
Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
pengurang penghasilan kena pajak.
Pasal
24
Lingkup
kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS
kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pendistribusian
Pasal
25
Zakat
wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pasal
26
Pendistribusian
zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala
prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Bagian
Ketiga
Pendayagunaan
Pasal
27
(1)
Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir
miskin dan peningkatan kualitas umat.
(2)
Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian
Keempat
Pengelolaan
Infak, Sedekah,
dan
Dana Sosial Keagamaan Lainnya
Pasal
28
(1)
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya.
(2)
Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat
Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3)
Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat
dalam pembukuan tersendiri.
Bagian
Kelima
Pelaporan
Pasal
29
(1)
BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat,
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan
pemerintah daerah secara berkala.
(2)
BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat,
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah
daerah secara berkala.
(3)
LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara
berkala.
(4)
BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.
(5)
Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau media
elektronik.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS
provinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal
30
Untuk
melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Hak Amil.
Pasal
31
(1)
Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan Hak Amil.
(2)
Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal
32
LAZ
dapat menggunakan Hak Amil untuk membiayai kegiatan operasional.
Pasal
33
(1)
Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(2)
Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal
34
(1)
Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi,
BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ.
(2)
Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal
35
(1)
Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS
dan LAZ.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
a.
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan
LAZ; dan
b.
memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
(3)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a.
akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS
dan LAZ; dan
b.
penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal
36
(1)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23
ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c.
pencabutan izin.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal
37
Setiap
orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual,
dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan
lainnya yang ada dalam pengelolaannya.
Pasal
38
Setiap
orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan
pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang
berwenang.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal
39
Setiap
orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat
sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal
40
Setiap
orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal
41
Setiap
orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal
42
(1)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan
kejahatan.
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
43
(1)
Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku
tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan Undang-Undang ini
sampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2)
Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kota
yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan
fungsi sebagai BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sampai terbentuknya
kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)
LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku
dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4)
LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5
(lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
44
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan
tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
Pasal
45
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal
46
Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal
47
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
IV.
KESIMPILAN
Perencanaan
(planning) berarti menentukan tujuan untuk kinerja organisasi di masa
depan serta memutuskan tugas dan penggunaan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai
tujuan.
Tipe-tipe Perencanaan: Bidang fungsional, Tingkatan Organisasional, Karakteristik-karakteristik
(sifat) rencana, Waktu, Unsur-unsur rencana. Sedangkan
rencana memiliki 2 tipe yang utama, yakni Rencana-rencana strategic dan Rencana-rencana operasional
Tahapan dalam perencanaan
·
Menetapkan tujuan atau serangkaian
tujuan
·
merumuskan keadaan saat ini
·
Mengidentifikasikan segala kemudahan
dan hambatan
·
mengembangkan rencana atau
serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.
Kriteria yang dapat digunakan untuk menilai efektivitas
perencanaan ialahKegunaan,
Ketetapan dan objektivitas, Ruang lingkup, Efektivitas biaya ,Akuntabilitas,
Ketetapan
waktu
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaaat
bagi kita semua. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan,
itu merupakan kelemahan dan kekurangan kami. Kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan untuk penulisan tugas makalah-makalah kami selanjutnya.