Senin, 09 Juli 2012

KHULAFA’UR RASYIDIN

I.                   PENDAHULUAN
Wafatnya Rasulullah merupakansebuah kehilangan besar bagi kaum muslimin pada waktu itu. Namun, penyebaran tak lantas berhenti. Perjuanganuntuk menyebarkan agama Islam tetap terus berlanjut. Oleh karena itu mulailah periode al-Khulafa’ur al-Rasyidin atau fase baru. Pada periode ini muncul persoalan baru dan diselesaikan dengan pemikiran atau ijtihad. Nabi Muhammad tidak meniggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dan cakupan Khulafaur Rasyidin?
2.      Bagaimana bentuk kepemimpinan pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali?
3.      Bagaimana perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?

III.             PEMBAHASAN
1.      DEFINISI KHULAFA’UR RASYIDIN dan CAKUPANNYA
Khulafa’ur Rasyidin adalah para pemimpin setelah masa rasulullah yang mempunyai sifat adil dan benar,yang mempunyai tugas menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang guru agung (nabi muhammad SAW)demi kemajuan islam dan umatnya.[1] Yang termasuk dalam al-khulafaur Rasyidin adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

2.      KEPEMIMPINAN ABU BAKAR , UMAR, UTSMAN, ALI
a.      ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ (11-13 H/632-634 M)
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim.[2] Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang dari Quraisy yang berjumlah dua belas. Namun bani itu bukanlah kelompok yang besar. Dijuluki Abu Bakar karena ia adalah orang yang paling awal masuk Islam. Sedangkan gelar Ash-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj.[3]
Terpilihnya Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia nabi. Yang pertama menjadi perhatian khalifah ialah merealisasikan keinginan nabi yang hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi keperbatsan Suriah di bawah pimpinan Usamah.
Wafatnya nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad, yaitu keluar dari islam. Mereka adalah orang-orang yang baru memasuki Islam. Belum cukup waktu bagi nabi dan para sahabatnya untuk mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran islam secara efektif untuk masyarakat yang tersebar di wilayah-wilayah yang sangat luas dengan sarana komunikasi yang sangat minim pada saat itu.
Terjadilah gerakan pengingkaran terhadap islam yang berarti beralih agama dari agama Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan pembangkangan terhadap lembaga khalifah. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan).[4]
Oleh karena itu khalifah  melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Adapun orang-orang yang tidak mau membayar zakat, diantaranya karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa dengan pajak yang dipaksakan dan penyerahannya ke perbendaharaan pusat di Madinah yang sama artinya dengan ‘penurunan kekuasaan’; suatu sikap yang tidak disukai oleh suku-suku Arab karena bertentangan dengan karakter mereka yang independen.
Dalam upaya penumpasan terhadap orang-orang dan para pembangkang tersebut yang ternyata banyak menyita konsentrasi khalifah, situasi keamana Negara Madinah menjadi kacau sehingga banyak sahabat, tidak terkecuali Umar yang dikenal keras menganjurkkan bahwa dalam keadaan sangat kritis lebih baik jika mengikuti kebijakan yang lunak. Sesungguhnya Umar cemas jika angka kematian bertambah dalam memerangi kaum murtad, karena dari kalangan kaum muslim banyak hafizh  yang tewas, ini berarti beberapa bagian lagi dari Al-Qur’an akan musnah. Oleh karena itu ia menasehati Abu Bakar untuk membuat suatu ‘kumpulan’ Alquran. Mulannya khalifah agak ragu untuk melakukan tugas ini karena tidak menerima otoritas dari nabi, tetapi kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid bin Tsabit.
Peperangan melawan para pengacau tersebut meneguhkan kembali khalifah Abu Bakar sebagai “Penyelamat Islam”, yang berhasil menyelamatakan Islam dari kekacauan dan kehancuran, dan membuat agama itu kembali memperoleh kesetiaan dari seluruh Jazirah Arab.
Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar lalu menglihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia dan Bizantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian peperangan melawan kedua kekaisaran itu.
Ketika pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan Kerajaan Hirah, dan telah meraih beberapa kemenangan yang dapat memberikan kepada mereka beberapa kemungkinan besar bagi keberhasilan selanjutnya, Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, pada hari senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari berbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.
b.      UMAR BIN KHATHTHAB (13-23 H/634-644 M)
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza dari  bani Adibin Ka’ab.[5] Suku Adi merupakan salah satu suku yang terpandang mulia.[6] Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian. Ia adalah orang yang berbudi luhur, fasih dan adil, serta pemberani.
Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khaththab menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam. Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai khalifah itu merupakan hal yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tetap dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam.
Umar bin Khaththab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Ketika pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah Umar menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mensukseskan  ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menoreh tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan. Pada tahun 635 M, Damaskus yang merupakan ibu kota Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk disebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal itu tunduk kepada pasukan Islam.
Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu pemerintahan yang handal untuk mealayani tuntutan masyarakat baru yang terus berkembang. Umar mendirikan beberapa dewan membangun baitul mal, mencetak mata uang, membentuk jawatan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban, mengatur gaji, mengangkat para hakim, menciptakan tahun hijrah[7] dan menyelenggarakan “hisbah”.[8]
Khalifah Umar meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warganya. Kekhalifahan bagi Umar tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik untuk Umar sendiri maupun untuk bawahannya sehingga tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat.[9]
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan umat Islam.
Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiaanya sangat tragis, sesorang budak bangsa Persia yang sangat membencinya bernama Abu Lu’luah al-Majusi secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi dipagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari pembaringannya ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus tongkat kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23 H/644 M.
c.       UTSMAN BIN AFFAN (23-36 H/644-656 M)
Khalifah ketiga ialah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abi’ Ash bin Umayyah bin Abdu Syam.[10] Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, ia sangat kaya tetapi berlaku sederhana, dan sebagian besar kekeyaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua putri Nabi secara berurutsn setelah yang satu meninggal.[11]
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Memeluui persaingan yang agak ketat dengan Ali, siding Syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman para Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Iran terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan secara cermat dan simultan di semua front.
Karya monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci Alquran. Disebutkan bahwa selama pengiriman ekspedisi militer ke Armeenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Alquran muncul di kalangan tentara muslim, di mana sebagiannya direkrut dari Suriah dan sebagian lagi dari Irak. Ketua dewan penyusunan Alquran, yaitu Zaid bin Tsait, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran antara lain adalah dari Hafsah, salah seorang istri Nabi. Kemudian dewan itu membuat beberapa salinan naskah Alquran untuk dikirim ke berbagai wilayah kegubernuran sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.
Setelah melewati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa kekuasaannya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan didalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaanpemerintahannya. Akan tetapi, sebenarnya kekacauan itu sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi khalifah.
Utsman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah orang yang baik dan saleh. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Oleh karena itu, Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggota-anggota keluarga itu. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas dalam kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri.
Kelemahan dan nepotisme[12] telah membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi pertikaian yang mengerikan di kalangan umat Islam. Berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan yang kuat untuk kemaslahatan umat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Lawan-lawannya menuduh bahwa Utsman sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk menerapkan edisi Alquran yang dibakukan itu. Dengan kata lain, mereka mendakwa Utsman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilinya.
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan menyeluruh. Wakil-wakil dari mereka menuntut khalifah untuk mendengarkan keluhan mereka. Khalifah pun menuruti kemauan mereka, sehingga mereka merasa puas atas kebijaksanaan khalifah tersebut dan pulang ke Negara masing-masing. Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak dari Basrah dan Kufah menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di mesir. Menurut mereka surat itu ditullis oleh Marwan bin Hakam, sekretaris khalifah, sehingga mereka meminta Marwan di serahkan kepada para pembarontak. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan jalan damai, tetapi merek tidak dapat menerimanya. Thalhah, Zubair dan ‘Amr membuat perlawanan rahasia melawan khanifah, dengan memanfaatkan para pemberontak yang datang ke Madinah untuk melampiaskan dendamnya yang meluap-luap itu.  Mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika Khalifah Utsman sedang membaca Alquran, pada tahun 35 H/656 M.
d.      ALI BIN ABI THALIB (36­-41 H/656-661 M)
Ali adalah keponakan dan menantu nabi. Ali adalah putra Abi Thallib bin Abdul Muthalib.[13] Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di Mekah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu olehnabi dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah seorang putri Rasulullah, dan dari sisi inilah keturunan nabi berkelanjutan.[14]
Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumusan kebijakan dengan wawasan yang jauh kedepan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasehat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Muhammad.
Beberapa hari pembunuhan Utsman, stabilitas kota Madinah menjadi rwan. Gafiqy bin Harbmemegang keamanan ibukota Islam itu selama kira-kira lima hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman, menerima  baiat dari sejumlah kaum muslimin.
Tugas pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh kepada kaum kerabatnya kedalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan gubernur yang tidak disenangi rakyat.
Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alas an pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan  yangsama juga diajukan oleh muawiayah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legatitas kekuasaan Ali, dengan menbangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebbagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman jika tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukan khalifah. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah UTsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan maker tersebut.
Khallifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi. Thalhah dan Zubair tebunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Segera sesudah menyelesaikan gerakan Thalhan dankawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah.
Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara angkatan perang Ali dan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah dengan 7.000 pasukannya terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Alquran sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ary, sedangkan Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin Ashyang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harusmeletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawayah tetapi justru mengangkatnya sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang diakhiri melalui tahkim, yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar itu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan lahirnya golongan khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali, yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khallifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis bearti khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir. Kelompok Muawiyah juga berusaha sedapat mungkin untuk merebut massa Islam dari pengikut Ali, Muawiyah dan ‘Amr, sebab diyakini bahwa ketiga pemimpin ini merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan yang terjadi kemudian. Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (660 M), khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah Abdur Rahman bin Muljam, seorang anggota khowarij yang sangat fanatic. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) masa pemerintahan Khalifah Ali berakhir.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan seelama lima bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah penguasa absolute dalam wilayah kerajaan Arab. Pada bulan Rabiuts Tsani tahun 41 H (661 M) Muawiyah memasuki kota Kufah yang oleh Ali dipilih sebagai pusat kekuasaannya. Sumpah kesetiaan diucapkan kepadanya dihadapan dua putra Ali, Hasan dan Husain. Rakyat berkerumunan di sekelilingnya sehingga pada tahun 40 H disebut sebagai ‘Amul Jama’ah, tahun jamaah.
3.      PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Masa kekuasaan Khulafaur Rasyidin yang dimulai sajak Abu Bakar Ash-Siddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam lebih luas. Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat telah membuahkan hasil yang gemilang.
Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang  sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
Pada masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di antaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut:
·         Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpulkannya dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar.
·         Pemberlakuan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
·         Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan para penduduk negeri.
·         Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19 benyak yang mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah[15].
·         Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan Negara, antara da’i maupun panglima. Para khalifah dalah penguasa, imam shalat, mengadili orang yang berselisih, da’I, dan juga panglima perang.
Dr. Hasan Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam As-Siyasi” menjelaskan bahwa organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Negara yang ada pada masa khulafaur rasyidin, diantaranya adalah:
1.      Lembaga Politik
Termasuk dalam lembaga politik khilafah (jabatan kepala negara), wizarah (kementerian negara), dan kitabah (sekretaris negara).
2.      Lembaga Tata Usaha Negara
Termasuk dalamurusan lembaga tata usaha Negara, Idaratul Aqalim (pengelolaan pemerintahan daerah) dan diwan (pengurus departemen) seperti diwan kharaj (kantor urusan keuangan), diwan rasail (kantor urusan arsip) diwanul barid  (kantor urusan pos) diwan syurthah (kantor urusan kepolisian) dan departemen lainnya.
3.      Lembaga Keuangan Negara
Termasuk dalam lembaga keuangan Negara dalam urusan-urusan keuangan dalam masalah ketentaraan, baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan persenjataannya.
4.      Lembaga Kehakiman Negara
Termasuk dalam lembaga kehakiman Negara,urusan-urusan mengenai Qadhi (pengadilan negeri) Madhalim (pengadilan banding) dan Hisabah (pengadilan perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan pengurusan segera.[16]

IV.             KESIMPULAN
Masa Khulafaur Rasyidin ini tidak lebih dari tiga puluh tahun. Masa mereka menjadi sangat istimewa karena mengikuti manhaj Rasulullah secara sempurna sesuai dengan jalan lurus yang Allah ridhai untuk hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, masa ini dianggap sebagai gambaran paling tepat bagi pelaksanaan hukum Islam. Tentu saja gambaran cara pemerintahan mereka itu wajib dijadikan sebagai contoh teladan bagi setiap penguasa yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Juga mereka yang menginginkan kebahagiaan yang untuk rakyat-nya.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaaat bagi kita semua. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan dan kekurangan kami. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk penulisan tugas makalah-makalah kami selanjutnya.