KHULAFA’UR RASYIDIN
I.
PENDAHULUAN
Wafatnya Rasulullah merupakansebuah kehilangan besar bagi kaum
muslimin pada waktu itu. Namun, penyebaran tak lantas berhenti. Perjuanganuntuk
menyebarkan agama Islam tetap terus berlanjut. Oleh karena itu mulailah periode
al-Khulafa’ur al-Rasyidin atau fase baru. Pada periode ini muncul persoalan
baru dan diselesaikan dengan pemikiran atau ijtihad. Nabi Muhammad tidak meniggalkan wasiat tentang
siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah
beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum
muslimin.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian
dan cakupan Khulafaur Rasyidin?
2.
Bagaimana
bentuk kepemimpinan pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali?
3.
Bagaimana
perkembangan peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?
III.
PEMBAHASAN
1.
DEFINISI KHULAFA’UR RASYIDIN dan CAKUPANNYA
Khulafa’ur Rasyidin adalah para pemimpin setelah masa rasulullah
yang mempunyai sifat adil dan benar,yang mempunyai tugas menyelamatkan dan
mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang guru
agung (nabi muhammad SAW)demi kemajuan islam dan umatnya.[1] Yang termasuk dalam al-khulafaur Rasyidin adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib.
2.
KEPEMIMPINAN ABU BAKAR , UMAR, UTSMAN, ALI
a.
ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ (11-13 H/632-634 M)
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin ‘Amr bin
Ka’ab bin Sa’ad bin Taim.[2]
Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang dari Quraisy yang berjumlah dua
belas. Namun bani itu bukanlah kelompok yang besar. Dijuluki Abu Bakar karena
ia adalah orang yang paling awal masuk Islam. Sedangkan gelar Ash-Shiddiq
diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan nabi dalam berbagai peristiwa,
terutama Isra’ dan Mi’raj.[3]
Terpilihnya Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad
umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia nabi. Yang pertama menjadi perhatian
khalifah ialah merealisasikan keinginan nabi yang hampir tidak terlaksana,
yaitu mengirimkan ekspedisi keperbatsan Suriah di bawah pimpinan Usamah.
Wafatnya nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat
muslim. Beberapa orang arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad, yaitu
keluar dari islam. Mereka adalah orang-orang yang baru memasuki Islam. Belum
cukup waktu bagi nabi dan para sahabatnya untuk mengajari mereka
prinsip-prinsip keimanan dan ajaran islam secara efektif untuk masyarakat yang tersebar
di wilayah-wilayah yang sangat luas dengan sarana komunikasi yang sangat minim
pada saat itu.
Terjadilah gerakan pengingkaran terhadap islam yang berarti beralih
agama dari agama Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan
pembangkangan terhadap lembaga khalifah. Karena sikap keras kepala dan
penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar
menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perang Riddah (perang
melawan kemurtadan).[4]
Oleh karena itu khalifah melancarkan
operasi pembersihan terhadap mereka. Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk
menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Adapun
orang-orang yang tidak mau membayar zakat, diantaranya karena mereka mengira
bahwa zakat adalah serupa dengan pajak yang dipaksakan dan penyerahannya ke
perbendaharaan pusat di Madinah yang sama artinya dengan ‘penurunan kekuasaan’;
suatu sikap yang tidak disukai oleh suku-suku Arab karena bertentangan dengan
karakter mereka yang independen.
Dalam upaya penumpasan terhadap orang-orang dan para pembangkang
tersebut yang ternyata banyak menyita konsentrasi khalifah, situasi keamana
Negara Madinah menjadi kacau sehingga banyak sahabat, tidak terkecuali Umar
yang dikenal keras menganjurkkan bahwa dalam keadaan sangat kritis lebih baik
jika mengikuti kebijakan yang lunak. Sesungguhnya Umar cemas jika angka
kematian bertambah dalam memerangi kaum murtad, karena dari kalangan kaum
muslim banyak hafizh yang tewas,
ini berarti beberapa bagian lagi dari Al-Qur’an akan musnah. Oleh karena itu ia
menasehati Abu Bakar untuk membuat suatu ‘kumpulan’ Alquran. Mulannya khalifah
agak ragu untuk melakukan tugas ini karena tidak menerima otoritas dari nabi,
tetapi kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid bin Tsabit.
Peperangan melawan para pengacau tersebut meneguhkan kembali khalifah
Abu Bakar sebagai “Penyelamat Islam”, yang berhasil menyelamatakan Islam dari
kekacauan dan kehancuran, dan membuat agama itu kembali memperoleh kesetiaan
dari seluruh Jazirah Arab.
Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar lalu
menglihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Persia dan
Bizantium, yang akhirnya menjurus kepada serangkaian peperangan melawan kedua
kekaisaran itu.
Ketika pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan Kerajaan
Hirah, dan telah meraih beberapa kemenangan yang dapat memberikan kepada mereka
beberapa kemungkinan besar bagi keberhasilan selanjutnya, Khalifah Abu Bakar
meninggal dunia, pada hari senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama
15 hari berbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya
berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.
b.
UMAR BIN KHATHTHAB (13-23 H/634-644 M)
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza
dari bani Adibin Ka’ab.[5] Suku
Adi merupakan salah satu suku yang terpandang mulia.[6]
Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian. Ia adalah orang yang
berbudi luhur, fasih dan adil, serta pemberani.
Sebelum meninggal dunia, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin
Khaththab menjadi penerusnya. Rupanya masa dua tahun bagi khalifah Abu Bakar
belumlah cukup menjamin stabilitas keamanan terkendali, maka penunjukan ini
dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan di kalangan umat
Islam. Meskipun peristiwa diangkatnya Umar sebagai khalifah itu merupakan hal
yang baru, tetapi haruslah dicatat bahwa proses peralihan kepemimpinan tetap
dalam bentuk musyawarah, yaitu berupa usulan atau rekomendasi dari Abu Bakar
yang diserahkan kepada persetujuan umat Islam.
Umar bin Khaththab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah”
(pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga mendapat gelar Amir
Al-Mukminin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan
penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Ketika pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah
Abu Bakar, dan era penaklukan militer telah dimulai maka Khalifah Umar
menganggap bahwa tugasnya yang pertama ialah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum
lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menoreh tinta emas dalam sejarah
perluasan wilayah kekuasaan. Pada tahun 635 M, Damaskus yang merupakan ibu kota
Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah
Yarmuk disebelah timur anak sungai Yordania, pasukan Romawi yang terkenal itu
tunduk kepada pasukan Islam.
Khalifah Umar telah berhasil membuat dasar-dasar bagi suatu
pemerintahan yang handal untuk mealayani tuntutan masyarakat baru yang terus
berkembang. Umar mendirikan beberapa dewan membangun baitul mal, mencetak mata uang,
membentuk jawatan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban, mengatur
gaji, mengangkat para hakim, menciptakan tahun hijrah[7]
dan menyelenggarakan “hisbah”.[8]
Khalifah Umar meletakkan prinsip-prinsip demokratis dalam
pemerintahannya dengan membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna. Kekuasaan
Umar menjamin hak yang sama bagi setiap warganya. Kekhalifahan bagi Umar tidak
memberikan hak istimewa tertentu. Tiada istana atau pakaian kebesaran, baik
untuk Umar sendiri maupun untuk bawahannya sehingga tidak ada perbedaan antara
penguasa dan rakyat.[9]
Khalifah Umar dikenal bukan saja pandai menciptakan
peraturan-peraturan baru, ia juga memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap
kebijaksanaan yang telah ada jika itu diperlukan demi tercapainya kemaslahatan
umat Islam.
Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari.
Kematiaanya sangat tragis, sesorang budak bangsa Persia yang sangat membencinya
bernama Abu Lu’luah al-Majusi secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau
tajam kearah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu
oleh jama’ahnya di masjid Nabawi dipagi buta itu. Khalifah terluka parah, dari
pembaringannya ia mengangkat “Syura” (komisi pemilih) yang akan memilih penerus
tongkat kekhalifahannya. Khalifah Umar wafat tiga hari setelah peristiwa
penikaman atas dirinya, yakni 1 Muharam 23 H/644 M.
c.
UTSMAN BIN AFFAN (23-36 H/644-656 M)
Khalifah ketiga ialah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya ialah
Utsman bin Affan bin Abi’ Ash bin Umayyah bin Abdu Syam.[10]
Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, ia sangat kaya tetapi berlaku
sederhana, dan sebagian besar kekeyaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia
mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena
menikahi dua putri Nabi secara berurutsn setelah yang satu meninggal.[11]
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang
calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi
khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah,
Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi
enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Memeluui persaingan yang agak ketat dengan Ali, siding Syura
akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa
pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman para
Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa
kekuasaannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para
pendahunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah
strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Iran terus dilindungi dan
dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan secara
cermat dan simultan di semua front.
Karya monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam
ialah penyusunan kitab suci Alquran. Disebutkan bahwa selama pengiriman
ekspedisi militer ke Armeenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan
Alquran muncul di kalangan tentara muslim, di mana sebagiannya direkrut dari
Suriah dan sebagian lagi dari Irak. Ketua dewan penyusunan Alquran, yaitu Zaid
bin Tsait, sedangkan yang mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran antara lain
adalah dari Hafsah, salah seorang istri Nabi. Kemudian dewan itu membuat
beberapa salinan naskah Alquran untuk dikirim ke berbagai wilayah kegubernuran
sebagai pedoman yang benar untuk masa selanjutnya.
Setelah melewati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa
kekuasaannya, Khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan
pembangkangan didalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa
terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaanpemerintahannya. Akan tetapi,
sebenarnya kekacauan itu sudah dimulai sejak pertama tokoh ini terpilih menjadi
khalifah.
Utsman terpilih karena sebagai calon konservatif, ia adalah orang
yang baik dan saleh. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang
baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah. Oleh karena itu,
Utsman berada dalam pengaruh dominasi seperti itu maka satu persatu kedudukan
tinggi kekhalifahan diduduki oleh anggota-anggota keluarga itu. Yang terpenting
diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan
pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar khalifah. Setelah banyak
anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana
boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu
lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas dalam kesalahan bawahan. Harta
kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman
sendiri.
Kelemahan dan nepotisme[12]
telah membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu
kemudian menjadi pertikaian yang mengerikan di kalangan umat Islam. Berbagai
usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan yang kuat untuk kemaslahatan
umat disalah pahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Lawan-lawannya
menuduh bahwa Utsman sama sekali tidak mempunyai otoritas untuk menerapkan edisi
Alquran yang dibakukan itu. Dengan kata lain, mereka mendakwa Utsman secara
tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilinya.
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin besar dan
menyeluruh. Wakil-wakil dari mereka menuntut khalifah untuk mendengarkan
keluhan mereka. Khalifah pun menuruti kemauan mereka, sehingga mereka merasa
puas atas kebijaksanaan khalifah tersebut dan pulang ke Negara masing-masing.
Akan tetapi di tengah jalan para pemberontak dari Basrah dan Kufah menemukan
surat yang dibawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu
harus dibunuh setelah sampai di mesir. Menurut mereka surat itu ditullis oleh Marwan
bin Hakam, sekretaris khalifah, sehingga mereka meminta Marwan di serahkan
kepada para pembarontak. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah. Sedangkan
Ali bin Abi Thalib ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan jalan damai,
tetapi merek tidak dapat menerimanya. Thalhah, Zubair dan ‘Amr membuat
perlawanan rahasia melawan khanifah, dengan memanfaatkan para pemberontak yang
datang ke Madinah untuk melampiaskan dendamnya yang meluap-luap itu. Mereka mengepung rumah khalifah, dan
membunuhnya ketika Khalifah Utsman sedang membaca Alquran, pada tahun 35 H/656
M.
d.
ALI BIN ABI THALIB (36-41 H/656-661 M)
Ali adalah keponakan dan menantu nabi. Ali adalah putra Abi Thallib
bin Abdul Muthalib.[13] Ia
menemani nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di Mekah maupun di
Madinah, dan ia diambil menantu olehnabi dengan menikahkannya dengan Fatimah,
salah seorang putri Rasulullah, dan dari sisi inilah keturunan nabi
berkelanjutan.[14]
Ali adalah seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia
adalah pemegang kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumusan kebijakan
dengan wawasan yang jauh kedepan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani,
penasehat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati,
dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya
dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Muhammad.
Beberapa hari pembunuhan Utsman, stabilitas kota Madinah menjadi
rwan. Gafiqy bin Harbmemegang keamanan ibukota Islam itu selama kira-kira lima
hari sampai terpilihnya khalifah yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib
menggantikan Utsman, menerima baiat dari
sejumlah kaum muslimin.
Tugas pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali ialah menghidupkan
cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah
dibagikan oleh kepada kaum kerabatnya kedalam kepemilikan Negara. Ali juga
segera menurunkan gubernur yang tidak disenangi rakyat.
Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh
Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alas an pribadi
sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah
segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan
yangsama juga diajukan oleh muawiayah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa
berdarah itu untuk menjatuhkan legatitas kekuasaan Ali, dengan menbangkitkan
kemarahan rakyat dan menuduh Ali sebbagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman
jika tidak dapat menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama,
karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh
intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan
kedudukan khalifah. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara
mudah, Khalifah UTsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak
orang dari Mesir, Irak, Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan maker
tersebut.
Khallifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan
mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian
damai sulit dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakkan
lagi. Thalhah dan Zubair tebunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah
dikembalikan ke Madinah. Segera sesudah menyelesaikan gerakan Thalhan
dankawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah.
Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara angkatan
perang Ali dan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat, pada
tahun 37 H. khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah.
Sebenarnya pihak Muawiyah telah terdesak kalah dengan 7.000 pasukannya
terbunuh, yang menyebabkan mereka mengangkat Alquran sebagai tanda damai dengan
cara tahkim. Khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ary, sedangkan Muawiyah
diwakili oleh ‘Amr bin Ashyang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah
dan Muawiyah harusmeletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu
Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash
berlaku sebaliknya, tidak menurunkan Muawayah tetapi justru mengangkatnya
sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Siffin
yang diakhiri melalui tahkim, yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua
orang penengah sebagai pengadil. Namun ternyata tidak menyelesaikan masalah,
kecuali menegaskan bahwa gubernur yang makar itu mempunyai kedudukan yang
setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan lahirnya golongan khawarij,
orang-orang yang keluar dari barisan pendukung Ali, yang berjumlah kira-kira
12.000 orang.
Karena kekuatannya telah banyak menurun, terpaksa khallifah Ali
menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah, yang secara politis bearti
khalifah mengakui keabsahan kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir.
Kelompok Muawiyah juga berusaha sedapat mungkin untuk merebut massa Islam dari
pengikut Ali, Muawiyah dan ‘Amr, sebab diyakini bahwa ketiga pemimpin ini merupakan
sumber dari pergolakan-pergolakan yang terjadi kemudian. Tepat pada 17 Ramadhan
40 H (660 M), khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah Abdur Rahman bin
Muljam, seorang anggota khowarij yang sangat fanatic. Pada tanggal 20 Ramadhan
40 H (660 M) masa pemerintahan Khalifah Ali berakhir.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan
seelama lima bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Muawiyah
semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Syarat-syarat yang tercantum
dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah penguasa absolute dalam wilayah
kerajaan Arab. Pada bulan Rabiuts Tsani tahun 41 H (661 M) Muawiyah memasuki
kota Kufah yang oleh Ali dipilih sebagai pusat kekuasaannya. Sumpah kesetiaan
diucapkan kepadanya dihadapan dua putra Ali, Hasan dan Husain. Rakyat
berkerumunan di sekelilingnya sehingga pada tahun 40 H disebut sebagai ‘Amul
Jama’ah, tahun jamaah.
3.
PERKEMBANGAN
PERADABAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Masa kekuasaan Khulafaur Rasyidin yang dimulai sajak Abu Bakar Ash-Siddiq
hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam lebih luas.
Pengembangan agama Islam yang
dilakukan pemerintahan khulafaur rasyidin dalam waktu yang relatif singkat
telah membuahkan hasil yang gemilang.
Ekspansi ke negeri-negeri
yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah
abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman
politik yang memadai.
Pada masa
kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di
antaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan
pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut:
·
Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpulkannya dalam bentuk
mushaf pada masa Abu Bakar.
·
Pemberlakuan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
·
Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi
kebodohan para penduduk negeri.
·
Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak
orientalis abad ke-19 benyak yang mempelajari fenomena futuhat al-Islamiyah[15].
·
Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan Negara,
antara da’i maupun panglima. Para khalifah dalah penguasa, imam shalat,
mengadili orang yang berselisih, da’I, dan juga panglima perang.
Dr. Hasan
Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam As-Siyasi” menjelaskan bahwa
organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Negara yang ada pada masa khulafaur
rasyidin, diantaranya adalah:
1.
Lembaga Politik
Termasuk dalam lembaga politik khilafah (jabatan kepala negara), wizarah
(kementerian negara), dan kitabah (sekretaris negara).
2.
Lembaga Tata Usaha Negara
Termasuk dalamurusan lembaga tata usaha Negara, Idaratul Aqalim
(pengelolaan pemerintahan daerah) dan diwan (pengurus departemen)
seperti diwan kharaj (kantor urusan keuangan), diwan rasail
(kantor urusan arsip) diwanul barid (kantor
urusan pos) diwan syurthah (kantor urusan kepolisian) dan departemen
lainnya.
3.
Lembaga Keuangan Negara
Termasuk dalam lembaga keuangan Negara dalam urusan-urusan keuangan dalam
masalah ketentaraan, baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta
perlengkapan dan persenjataannya.
4.
Lembaga Kehakiman Negara
Termasuk dalam lembaga kehakiman Negara,urusan-urusan mengenai Qadhi
(pengadilan negeri) Madhalim (pengadilan banding) dan Hisabah
(pengadilan perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang
memerlukan pengurusan segera.[16]
IV.
KESIMPULAN
Masa Khulafaur Rasyidin ini tidak lebih dari tiga puluh tahun. Masa
mereka menjadi sangat istimewa karena mengikuti manhaj Rasulullah secara
sempurna sesuai dengan jalan lurus yang Allah ridhai untuk hamba-hamba-Nya.
Dengan demikian, masa ini dianggap sebagai gambaran paling tepat bagi
pelaksanaan hukum Islam. Tentu saja gambaran cara pemerintahan mereka itu wajib
dijadikan sebagai contoh teladan bagi setiap penguasa yang menginginkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Juga mereka yang menginginkan kebahagiaan
yang untuk rakyat-nya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat
bermanfaaat bagi kita semua. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam
penulisan, itu merupakan kelemahan dan kekurangan kami. Kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk penulisan tugas makalah-makalah kami
selanjutnya.