AKIDAH DAN IBADAH
I.
PENDAHULUAN
Agama berjalan menyempurnakan fitrah manusia dalam mencapai
kemajuan dengan cara evolusi, sehingga hal ini telah menjadi sunnah (ketentuan)
Allah SWT dalam kehidupan manusia. Islam merupakan agama yang universal,
artinya berlaku di semua ruang dan waktu, tanpa memandang status ataupun kelas
tertentu. Allah SWT menyempurnakan agama islam dengan perantara Nabi Muhammad
SAW. Ia diturunkan Allah kepada ummat manusia sepanjang sejarah dengan membawa
satu prinsip, yaitu tauhid. Tujuannya adalah membawa “rahmat bagi alam
semesta” (rahmatan lil al-alamin). Kitab suci Al-Qur’an adalah pedoman
hidup bagi manusia untuk menuju keselamatan di dunia dan akhirat.
Seorang muslim seharusnya meyakini, mengikrarkan dan menyaksikan (syahadah)
bahwa islam adalah satu-satunya agama yang benar (haqq), diridhoi, dan diterima
Allah SWT. Selanjutnya mengamalkan seluruh ajaran sebagai konsekuensi dari
pernyataan tersebut. Pengamalannyapun harus sesuai petunjuk Allah, sebagaimana
tertuang dalam syari’ah. Syari’ah mengandung aspek akidah (aqidah) dan
ibadah (ibadah) serta tatanan pergaulan ummat manusia, muamalah (mu’amalah).
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian akidah dan ibadah
2.
Mengapa
Iman didasarkan sebagai amal ibadah
3.
Mengapa
Tauhid sebagai fitrah manusia
III.
PEMBAHASAN
Pengertian
Akidah dan Ibadah
Aqidah secara
etimologis berakar dari kata ‘aqada- ya’qidu- ‘aqdan- aqidatan. ‘aqdan
berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi ‘aqidah
berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah
adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh didalam hati, bersifat mengikat dan
mengandung perjanjian. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa
definisi (ta’rif) antara lain:
1.
Menurut
Hasan al-Banna:
العقا ئد هى الأ مور التىي يجب ان يصدّ ق بها قلبك وتطمئنّ إليها نفسك
وتكون يقينا عند ك لايمازجه ريب ولايخا لطه شكّ
“Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan
ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan”(Al-Banna, tt., hal 465).
2.
Menurut
Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدةهي هجموعة من قضا ياالحقّ البد هيّة المسلّمة بالعقل, والسمع
والفطرة, يعقد عليهاالإ نسان قلبه, ويثنى
عليه صدره جازما بصحتها, قا طعا بو جو دها وبو تها لا يري خلا فها انهيصحّ أو يكون
أبدا
“Aqidah
adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan
akal, wahyu dan fitrah. (Kebenaran) itu dipartikan (oleh manusia) didalam hati
(serta) diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala
sesuatu yang bertentangan dengankebenaran itu” (Al-Jazairy, 1978, hal 21).[1]
Ibadah secara
etimologis berasal dari bahasa Arab, dari madhi abada ya’ budu ibadatan,
yang artinya mengesakan, melayani dan patuh.” Adapun secara terminologis dan
beberapa sarjana yang mengartikannya, sesuai dengan disiplin ilmu yang
dimilikinya:
Ulama tauhid mengartikan ibadah
dengan mengesakan Allah dan menta’dhimkan-Nya dengan sepenuh arti serta
menundukkan dan merendahkan diri kepada-Nya.
Ulama akhlaq mengartikan
dengan beramal secara badaniyahdan menyelenggarakan segala syari’at.
Menurut Ulama tasawuf, ibadah adalah mengerjakan
sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan nafsunya, untuk membesarkan Tuhan-Nya.
Menurut Ulama fiqh, ibadah adalah mengerjakansesuatu
untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.
Apabila diperhatikan, beberapa definisi diatas terkandung unsure
pokok dalam ibadah, yaitu adanya perbuatan. Perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang mukmin dan muslim yang mukallaf. Maksud dikerjakan perbuatan itu
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai perwujudan iman kepada-Nya.[2]
Iman
Sebagai Dasar Amal Ibadah
Sah dan
tidaknya amalan seorang hamba, ditentukan dengan benar atau tidaknya
keimanannya dan apa yang ada di dalam hati orang tersebut. Allah ta’ala
berfirman :
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ
اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ
هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Maka apakah orang-orang yang membangun bangunan (masjid) atas
dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya adalah lebih baik, ataukah
orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh , lalu
(bangunan) tersebut roboh bersama dia ke dalam neraka jahannam.”(At Taubah
:109)
Syaikh
As Sa’diy rahimahullahu menjelaskan dalam tafsirnya tatkala menafsirkan ayat
tersebut, “Maksud dari membangun bangunan (amal ibadah) atas dasar taqwa adalah
‘atas dasar niat yang sholeh dan keikhlasan kepada Allah’. (Taisir
Karimirrahman, hal 352)
Dan
beliau rahimahullah juga mengatakan : “Sesungguhnya iman merupakan syarat sah
dan diterimannya amal sholeh. Dan tidaklah sebuah amal dikatakan sebagai amal
yang sholeh melainkan didasari dengan iman.” (Taisir Karimirrahman, hal 449)
Penggunaan
istilah iman sebagai dasar amal ibadah ini dinyatakan oleh Allah dalam
al-Quran:
و ما كا ن الله ليضيع إ يمنكم
“Dan Allah tidak akan menghilangkan (bukti) iman kamu”
(QS. Al-Baqarah 2: 143)
Perkataan imanakum atau iman kamu pada ayat
tersebut bermaksud sembahyang kamu. Jadi ayat diatas bermakna: “ Dan Allah
tidak mensia-siakan sembahyang kamu.”[3]
Yaitu sembahyang yang dulu kamu tunaikan ketika
berkiblatkan Baitulmaqdis. Berkata Imam al-Nasafi, dinamakan salat sebagai iman
karena diwajibkan ke atas orang-orang yang beriman, diterima sembahyang itu
daripada kalangan mereka yang beriman dan ditunaikannya secara berjemaah pula
sebagai tanda keimanan.[4]
Berdasarkan dua konteks penggunaan yang dinyatakan
al-Quran sebelum ini berhubungan denganistilah iman, dapat ditegaskan tanpa
ragu lagi bahwa hakikat iman (aqidah) Islam bukan bersifat teori semata-mata,
malahan pembenaran tersebut dibuktikan pula dengan amalan.[5]
Andaikata Rasulullah saw meminta manusia supaya
semata-mata menuturkan kalimat iman itu tanpa diiringi dengan kepatuhan serta
ketundukan menjunjung tinggi titah perintah Allah niscaya manusia bersegera
menyahuut seruannya. Tetapi Rasulullah saw menghendaki wujudnya kepatuhan
menjunjung tinggi dan melaksanakan titah perintah Allah sesudah pengakuan
tersebut diucapkan. Karena itulah Rasulullah melakukan bai’ah dengan
golongan Muhajirin serta Ansar, meminta mereka berkorban jiwa untuk sama-sama
mati dijalan Allah. Baginda tidak menjanjikan kepada mereka apa-apa selain
Syurga setelah mereka berjihad dan beramal soleh. Menyadari hakikat tersebut,
generasi bertauhid dari kalangan sahabat yang dididik oleh Rasulullah saw
melaksanakannya dengan penuh kesadaran. Mereka amat berkeyakinan bahwa ganjaran
Syurga yang dijanjikan Allah kepada mukmin pastilah berdasarkan kepada usaha
atau amal yang dilakukan di dunia.
Tauhid Sebagai Fitrah Manusia
Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran
(bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan
memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang
tidak.
Prinsip ajaran ke Tuhanan dalam Islam adalah
terletak pada ketauhidan (peng-Esaan Tuhan yang mutlak).
Tauhid berarti mengakui dengan sesungguhnya bahwa
Allah itu Esa dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan-Nya dan kepada siapa kita
beribadah.
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan
atau tahapan, yaitu:
1.
Tauhid Rububiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb),
2.
Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik),
Penyederhanaan ke dalam tiga tingkatan di atas
didasarkan kepada firman Allah SWT:
أ لحمد الله رب ا لعلمين
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS.
al-Fatihah 1:2)
ملك يو م الد ين
“Yang menguasai hari pembalasan.” (QS. al-Fatihah 1:
4)
إيا ك نعبد وإيا ك نستعين
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS al-Fatihah 1: 4)
قل أ عو د برب النا س
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang
memellihara dan menguasai) manusia.” (QS. an-Naas 114: 1)
ملك الناس
“Raja manusia.” (QS. an-Naas 114: 2)
إ له الناس
“Sembahan manusia.” (an-Naas 114: 3)
د لكم الله ربكم له الملك لا إ له إ الللا هو فا نى تصر فون
“Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan
kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak di-sembah)
selain Dia: maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (QS. az-Zumar 39: 6)
Antara ketiga dimensi Tauhid di atas berlaku dua
teori (dua dalil), yaitu:
a. Dalil at-Talazum
Talazum artinya kemestian. Maksudnya setiap orang yang meyakini Tauhid Rububiyah
semestinya meyakini Tauhid Mulkiyah dan meyakini Tauhid Mulkiyah semestinya
meyakini Tauhid Ilahiyah. Dengan kata lain Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi
logisdari Tauhid Rububiyah. Tauhid Ilahiyah adalah konsekuensi logis dari
Tauhid Mulkiyah. Apabila terhenti pada Rububiyah saja, atau pada Mulkiyah saja
tentu ada sesuatu yang tidak logis.
b. Dalil at-Tadhamun
Tadhamun artinya cakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai ke tingkat
Tauhid Ilahiyah tentunya sudah melalui dua Tauhid sebelumnya.[7]
IV.
KESIMPULAN
Penciptaan manusia dibumi ini adalah mempunyai
suatu tujuan dan tugas risalah yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah
SWT yang menciptakannya. Tugas dan tanggungjawab manusia sebenarnya telah nyata
dan begitu jelas sebagaimana terkandung di dalam al-Quran yaitu tugas
melaksanakan ibadah mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai
khalifah-Nya dalam makna mantabdir dan mengurus bumi ini mengikuti
undang-undang Allah dan peraturan-peraturan-Nya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaaat
bagi kita semua. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan,
itu merupakan kelemahan dan kekurangan kami. Kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan untuk penulisan tugas makalah-makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas
Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPPI). 1992
Awing
Ramli. Akidah Penghayatan Tauhid Al-Qur’an. Skudai: Universiti Teknologi
Malaysia. 2005
Syukur
Amin. Pengantar Studi Islam. Semarang: Lembkota Semarang. 2006
Abu
al-Fida Imad al-Din Isma’il bin Kathir. Tafsir al-Quran al-Azim.Beirut:
Dar al-Ma’rifah. 1980
‘Abd
Allah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. Tafsir al-Nasafi. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
2000
[1] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc.
Kuliah Aqidah Islam. Hlm.1
[2] Prof. Dr. H. M. Amin
Syukur, MA. Pengantar Studi Islam. Hlm.96-98
[3] Abu al-Fida Imad al-Din
Isma’il bin Kathir. Tafsir al-Quran al-Azim. Hlm.192
[4] ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn
Mahmud al-Nasafi. Tafsir al-Nasafi, Hlm. 84
[5] Ramli Awang. Aqidah
Penghayatan Tauhid Al-Quran. Hlm.6
[6] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc.
Kuliah Aqidah Islam. Hlm.19
[7] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc.
Kuliah Aqidah Islam. Hlm.29-30