Senin, 09 Juli 2012


AKIDAH DAN IBADAH

I.                  PENDAHULUAN
Agama berjalan menyempurnakan fitrah manusia dalam mencapai kemajuan dengan cara evolusi, sehingga hal ini telah menjadi sunnah (ketentuan) Allah SWT dalam kehidupan manusia. Islam merupakan agama yang universal, artinya berlaku di semua ruang dan waktu, tanpa memandang status ataupun kelas tertentu. Allah SWT menyempurnakan agama islam dengan perantara Nabi Muhammad SAW. Ia diturunkan Allah kepada ummat manusia sepanjang sejarah dengan membawa satu prinsip, yaitu tauhid. Tujuannya adalah membawa “rahmat bagi alam semesta” (rahmatan lil al-alamin). Kitab suci Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia untuk menuju keselamatan di dunia dan akhirat.
Seorang muslim seharusnya meyakini, mengikrarkan dan menyaksikan (syahadah) bahwa islam adalah satu-satunya agama yang benar (haqq), diridhoi, dan diterima Allah SWT. Selanjutnya mengamalkan seluruh ajaran sebagai konsekuensi dari pernyataan tersebut. Pengamalannyapun harus sesuai petunjuk Allah, sebagaimana tertuang dalam syari’ah. Syari’ah mengandung aspek akidah (aqidah) dan ibadah (ibadah) serta tatanan pergaulan ummat manusia, muamalah (mu’amalah).

II.               RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian akidah dan ibadah
2.      Mengapa Iman didasarkan sebagai amal ibadah
3.      Mengapa Tauhid sebagai fitrah manusia

III.           PEMBAHASAN
Pengertian Akidah dan Ibadah
Aqidah secara etimologis berakar dari kata ‘aqada- ya’qidu- ‘aqdan- aqidatan. ‘aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi ‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh didalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
1.      Menurut Hasan al-Banna:
العقا ئد هى الأ مور التىي يجب ان يصدّ ق بها قلبك وتطمئنّ إليها نفسك وتكون يقينا عند ك لايمازجه ريب ولايخا لطه شكّ
Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati(mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”(Al-Banna, tt., hal 465).
2.      Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدةهي هجموعة من قضا ياالحقّ البد هيّة المسلّمة بالعقل, والسمع والفطرة, يعقد عليهاالإ نسان قلبه,  ويثنى عليه صدره جازما بصحتها, قا طعا بو جو دها وبو تها لا يري خلا فها انهيصحّ أو يكون أبدا
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. (Kebenaran) itu dipartikan (oleh manusia) didalam hati (serta) diyakini kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengankebenaran itu” (Al-Jazairy, 1978, hal 21).[1]
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa Arab, dari madhi abada ya’ budu ibadatan, yang artinya mengesakan, melayani dan patuh.” Adapun secara terminologis dan beberapa sarjana yang mengartikannya, sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya:
Ulama tauhid mengartikan ibadah dengan mengesakan Allah dan menta’dhimkan-Nya dengan sepenuh arti serta menundukkan dan merendahkan diri kepada-Nya.
Ulama akhlaq mengartikan dengan beramal secara badaniyahdan menyelenggarakan segala syari’at.
Menurut Ulama tasawuf, ibadah adalah mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan nafsunya, untuk membesarkan Tuhan-Nya.
Menurut Ulama fiqh, ibadah adalah mengerjakansesuatu untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.
Apabila diperhatikan, beberapa definisi diatas terkandung unsure pokok dalam ibadah, yaitu adanya perbuatan. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang mukmin dan muslim yang mukallaf. Maksud dikerjakan perbuatan itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai perwujudan iman kepada-Nya.[2]

Iman Sebagai Dasar Amal Ibadah
Sah dan tidaknya amalan seorang hamba, ditentukan dengan benar atau tidaknya keimanannya dan apa yang ada di dalam hati orang tersebut. Allah ta’ala berfirman :
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Maka apakah orang-orang yang membangun bangunan (masjid) atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya adalah lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh , lalu (bangunan) tersebut roboh bersama dia ke dalam neraka jahannam.”(At Taubah :109)
Syaikh As Sa’diy rahimahullahu menjelaskan dalam tafsirnya tatkala menafsirkan ayat tersebut, “Maksud dari membangun bangunan (amal ibadah) atas dasar taqwa adalah ‘atas dasar niat yang sholeh dan keikhlasan kepada Allah’. (Taisir Karimirrahman, hal 352)
Dan beliau rahimahullah juga mengatakan : “Sesungguhnya iman merupakan syarat sah dan diterimannya amal sholeh. Dan tidaklah sebuah amal dikatakan sebagai amal yang sholeh melainkan didasari dengan iman.” (Taisir Karimirrahman, hal 449)
Penggunaan istilah iman sebagai dasar amal ibadah ini dinyatakan oleh Allah dalam al-Quran:
و ما كا ن الله ليضيع إ يمنكم
Dan Allah tidak akan menghilangkan (bukti) iman kamu” (QS. Al-Baqarah 2: 143)
Perkataan imanakum atau iman kamu pada ayat tersebut bermaksud sembahyang kamu. Jadi ayat diatas bermakna: “ Dan Allah tidak mensia-siakan sembahyang kamu.”[3]
Yaitu sembahyang yang dulu kamu tunaikan ketika berkiblatkan Baitulmaqdis. Berkata Imam al-Nasafi, dinamakan salat sebagai iman karena diwajibkan ke atas orang-orang yang beriman, diterima sembahyang itu daripada kalangan mereka yang beriman dan ditunaikannya secara berjemaah pula sebagai tanda keimanan.[4]
Berdasarkan dua konteks penggunaan yang dinyatakan al-Quran sebelum ini berhubungan denganistilah iman, dapat ditegaskan tanpa ragu lagi bahwa hakikat iman (aqidah) Islam bukan bersifat teori semata-mata, malahan pembenaran tersebut dibuktikan pula dengan amalan.[5]
Andaikata Rasulullah saw meminta manusia supaya semata-mata menuturkan kalimat iman itu tanpa diiringi dengan kepatuhan serta ketundukan menjunjung tinggi titah perintah Allah niscaya manusia bersegera menyahuut seruannya. Tetapi Rasulullah saw menghendaki wujudnya kepatuhan menjunjung tinggi dan melaksanakan titah perintah Allah sesudah pengakuan tersebut diucapkan. Karena itulah Rasulullah melakukan bai’ah dengan golongan Muhajirin serta Ansar, meminta mereka berkorban jiwa untuk sama-sama mati dijalan Allah. Baginda tidak menjanjikan kepada mereka apa-apa selain Syurga setelah mereka berjihad dan beramal soleh. Menyadari hakikat tersebut, generasi bertauhid dari kalangan sahabat yang dididik oleh Rasulullah saw melaksanakannya dengan penuh kesadaran. Mereka amat berkeyakinan bahwa ganjaran Syurga yang dijanjikan Allah kepada mukmin pastilah berdasarkan kepada usaha atau amal yang dilakukan di dunia.

Tauhid Sebagai Fitrah Manusia
Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak.
Prinsip ajaran ke Tuhanan dalam Islam adalah terletak pada ketauhidan (peng-Esaan Tuhan yang mutlak).
Tauhid berarti mengakui dengan sesungguhnya bahwa Allah itu Esa dalam Dzat, Sifat, dan Perbuatan-Nya dan kepada siapa kita beribadah.
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau tahapan, yaitu:
1.      Tauhid Rububiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb),
2.      Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik),
3.      Tauhid Ilahiyah (mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah).[6]
Penyederhanaan ke dalam tiga tingkatan di atas didasarkan kepada firman Allah SWT:
أ لحمد الله رب ا لعلمين
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-Fatihah 1:2)
ملك يو م الد ين
“Yang menguasai hari pembalasan.” (QS. al-Fatihah 1: 4)
إيا ك نعبد وإيا ك نستعين
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS al-Fatihah 1: 4)
قل أ عو د برب النا س
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memellihara dan menguasai) manusia.” (QS. an-Naas 114: 1)
ملك الناس
“Raja manusia.” (QS. an-Naas 114: 2)
إ له الناس
“Sembahan manusia.” (an-Naas 114: 3)
د لكم الله ربكم له الملك لا إ له إ الللا هو فا نى تصر فون
“Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak di-sembah) selain Dia: maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (QS. az-Zumar 39: 6)
Antara ketiga dimensi Tauhid di atas berlaku dua teori (dua dalil), yaitu:
a.       Dalil at-Talazum
Talazum artinya kemestian. Maksudnya setiap orang yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya meyakini Tauhid Mulkiyah dan meyakini Tauhid Mulkiyah semestinya meyakini Tauhid Ilahiyah. Dengan kata lain Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi logisdari Tauhid Rububiyah. Tauhid Ilahiyah adalah konsekuensi logis dari Tauhid Mulkiyah. Apabila terhenti pada Rububiyah saja, atau pada Mulkiyah saja tentu ada sesuatu yang tidak logis.
b.      Dalil at-Tadhamun
Tadhamun artinya cakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah sampai ke tingkat Tauhid Ilahiyah tentunya sudah melalui dua Tauhid sebelumnya.[7]




IV.           KESIMPULAN
Penciptaan manusia dibumi ini adalah mempunyai suatu tujuan dan tugas risalah yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Allah SWT yang menciptakannya. Tugas dan tanggungjawab manusia sebenarnya telah nyata dan begitu jelas sebagaimana terkandung di dalam al-Quran yaitu tugas melaksanakan ibadah mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai khalifah-Nya dalam makna mantabdir dan mengurus bumi ini mengikuti undang-undang Allah dan peraturan-peraturan-Nya.
V.               PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaaat bagi kita semua. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan dan kekurangan kami. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk penulisan tugas makalah-makalah kami selanjutnya.


















DAFTAR PUSTAKA
Ilyas Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI). 1992
Awing Ramli. Akidah Penghayatan Tauhid Al-Qur’an. Skudai: Universiti Teknologi Malaysia. 2005
Syukur Amin. Pengantar Studi Islam. Semarang: Lembkota Semarang. 2006
Abu al-Fida Imad al-Din Isma’il bin Kathir. Tafsir al-Quran al-Azim.Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1980
‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. Tafsir al-Nasafi. Beirut: Dar al-Ma’rifah. 2000



[1] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. Kuliah Aqidah Islam. Hlm.1
[2] Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA. Pengantar Studi Islam. Hlm.96-98
[3] Abu al-Fida Imad al-Din Isma’il bin Kathir. Tafsir al-Quran al-Azim. Hlm.192
[4] ‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi. Tafsir al-Nasafi, Hlm. 84
[5] Ramli Awang. Aqidah Penghayatan Tauhid Al-Quran. Hlm.6
[6] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. Kuliah Aqidah Islam. Hlm.19
[7] Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc. Kuliah Aqidah Islam. Hlm.29-30